Aku duduk di sofa, tetap menjaga jarak dengannya. Ia yang duduk di lantai bersandarkan sofa. Aku yang duduk di sofa bersandarkan lelah, menenggak botol ice lemon tea yang baru kubeli di minimarket.
“Mmm.. mungkin kau tidak sibuk, tapi kau kelelahan,” tebaknya sok tahu sambil mencoba berdiri perlahan lalu duduk di sofaku. Tetap ada jarak.
“Hai, aku Kucil. Apakah kau sudah memperkenalkan dirimu padaku?” tanyanya yang membuatku menoleh.
“Sepenting apa namaku bagimu?” tanyaku malas sambil menutup botol minumanku lalu meletakkannya di atas meja kayu kecil.
Ia tertawa agak tersendat. “Oh, itu penting! Mungkin,” jawabnya singkat sambil menggaruk kemaluannya sambil malu-malu, “mungkin penting bila aku ingin bertanya di mana WC berada?”
*
“Jadi kau menahan kencingmu sejak semalam?” aku terus bertanya tanpa henti. Tanpa berhenti tertawa.
Ia hanya meringis malu, “Tentu tidak.”
“Lalu sejak kapan? Sejak kau lahir? Hahahaha!” aku tertawa terbahak-bahak.
“Sejak kau meninggalkan rumah. Maaf. Aku khilaf. Sofamu basah.”
“Hah?!”
***