Bangsa tersenyum simpul, “Tidak sopan bertanya seperti itu. Aku kan baru duduk.”
Harap salah tingkah sambil tertawa kecil, “Ah, maaf. Aku baru tahu itu tidak sopan.”
Kepala Bangsa memutar melihat sekitar, langit-langit rumah yang dipenuhi karang-karang yang bergelantungan. Karang yang didominasi warna pastel. Tadinya penuh dengan warna menyala, namun Kucil memberi saran tentang keseimbangan warna lembut, agar mempengaruhi otak Harap yang terus bekerja menjadi rileks sejenak.
“Aku tidak tahu ini sopan atau tidak, tapi aku mau memberitahu bahwa Kucil sedang pergi ke rumah ayahnya,” ucap Harap hati-hati. Keberadaan Bangsa selalu membuat hati-hati, setelah pertemuan pertama mereka di rumah Kucil dan Harap.
Bangsa tertawa renyah, “Ya, ya, ya.. kau mulai hati-hati, ya.”
“Entahlah,” Harap menjawa sekenanya. “Ah, kau bisa minum. Aku mau ke dapur dulu membawa camilan.”
“Oh, tak perlu. Aku sudah makan kok.”
“Menurutku itu tidak sopan.”
Mereka tertawa.
Tak lama kemudian, satu mangkuk camilan buah segar sudah tersaji di meja.
“Sejak kapan Kucil mulai menemui ayahnya kembali?” tanya Bangsa membuka percakapan setelah menyeruput minumannya.
Harap menerawang, mengingat-ingat Kucil kembali menemui ayahnya. Semenjak ibu Kucil meninggal dan ia bertemu dengan Harap, ia tidak pernah mau bertemu dengan ayahnya. Kucil tidak membencinya, hanya saja ia ingin ayahnya merasa kehilangan dirinya dahulu, karena hidup sosok Kucil tidak terlalu mempengaruhi pemikiran ayahnya. Sebenarnya ayahnya mencintai Kucil, namun dengan cara yang berbeda. Merubah pemuda Indonesia ke gaya hidup yang lebih baik. Kucil perokok berat. Ayahnya membenci seorang perokok. Begitulah singkatnya.
“Sebenarnya aku tidak begitu yakin Kucil pergi menemui ayahnya,” jawab Harap.
Bangsa mengernyitkan alis, “Kau tidak mempercayai Kucil?”
“Ah, bukan beg—”
“Kucil sangat percaya padamu, Harap,” lanjut Bangsa cepat memotong pembelaan Harap.
“Bukan itu. Aku bertanya ia mau pergi ke mana tadi pagi, dan ia menjawab sekenanya bahwa dirinya mau menemui ayahnya. Kemudian aku mengutarakan tentang aku tidak mempercayai itu, dan Kucil hanya bilang tentang ia pun tidak mempercayai dirinya yang akan menemui ayahnya,” jawab Harap panjang lebar sambil berdeham.
“Aku disuguhi minuman yang sangat segar, kenapa kau tidak membawa minuman untuk dirimu sendiri?” tanya Bangsa santai sambil menawari minumannya.
Harap tertawa hambar, “Aku tidak haus kok, tidak seperti kedengarannya.”
“Memangnya orang baru boleh minum sewaktu haus saja?”
“Kenapa kau begitu cerewet?” Harap merebut gelas dari tangan Bangsa lalu menenggaknya habis. Bangsa hanya bisa melongo.
Harap menyeka bibirnya dengan punggung tangan, lalu matanya berhenti melihat Bangsa yang tertawa pecah. Agak lama. Sekitar tiga menit ia baru mengontrol tawanya dan diakhiri dengan senyuman yang manis. Namun kembali tertawa. Kali ini bersama Harap.
Bangsa adalah teman Kucil dari The Celurits. Komunitas yang senang membacok. Ya, kau pun akan ngeri membacanya. Namun, pada pertemuan pertama Harap dengan Bangsa di rumah, ia menceritakan bahwa The Celurits mengagumi sosok Harap pada saat ia memberikan bacotan tentang kejahatan di dunia.
Dulu, Harap adalah ketua komunitas sosial yang tidak memiliki fokus pada bidang apapun. Semua yang dipikirkan oleh Harap, ia utarakan pada anggotanya. Saat itu Harap tidak bisa mengingat dengan baik, sehingga anggotanya merupakan buku catatan Harap. Tidak ada anggota yang abadi, karena Harap sudah membubarkan komunitas itu. Kegiatan Harap ditentang oleh ayahnya. Ya, sebenarnya Harap pun menentang kemauannya. Ia hanya mau tidur siang dengan tenang.
Kembali pada Bangsa, The Celurits merealisasikan bacotan Harap menjadi nyata. Mereka dalam istilah kerennya yaitu menumpas kejahatan, dengan membacok. Namun lucunya, mereka tidak benar-benar membacok, mereka hanya menggertak tempat yang dikunjungi dengan cara berdongeng. Oke, lucu sekali.
Pernah suatu hari Kucil melamar pekerjaan di The Celurits. Kucil bilang bahwa ia tidak jadi melamar di sana, karena ternyata The Celurits adalah tempat orang-orang membacok. Ia hanya tahu tempat tersebut membuka jasa garuk punggung. Padahal itu hanya akal-akalannya Kucil pada Harap bahwa ia sudah melamar pekerjaan karena Harap selalu bawel menanyakan tentang pekerjaan Kucil. Bukannya ia tidak mau bekerja, tapi Kucil tidak pandai mendongeng.
Tentang karangan cerita Kucil mengenai The Celurits yang senang membacok, agar kedok mereka tidak diketahui oleh Harap, karena mereka tercipta setelah terinspirasi oleh bacotan Harap. Namun, memang dulu The Celurits membuka jasa garuk punggung, menggunakan celurit. Ya, dulu mereka adalah benar-benar sekelompok bandit. Pembacokan yang terjadi hanya untuk orang-orang yang meresahkan warga. Saat itu, Kucil adalah satu di antaranya. Bangsa adalah ketuanya.
Ketika ibu Kucil meninggal, ia sempat menyusun strategi untuk menculik ayahnya. Akan tetapi hal tersebut ditentang oleh Bangsa, ia berkata: Di sana ada seorang wanita kerbau bicara tentang semua kejahatan. Salah satunya adalah yang telah dilakukan oleh ayahnya. Sosok ayahnya yang ia kagumi menjadi perokok berat ketika proyeknya hampir gagal bertubi-tubi. Ia tidak menghiraukan itu. Namun, pemikirannya berubah ketika ia bicara tentang lukisan ibunya.
Lukisan yang menceritakan tentang ia dan anaknya terbatuk-batuk sepanjang hari dan tak bisa lagi mendengarkan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Harga lukisan tersebut melambung tinggi. Dibeli oleh ayahnya sendiri. Uang ayahnya habis. Ia tidak bisa membeli rokok lagi.
Saat itu juga, Bangsa, Kucil, dan teman-teman lainnya menggambar sebuah sudut pandang baru. Sebuah perspektif yang lebih sederhana. Mulai dari sana, The Celurits tetap membacok pelaku kejahatan, membacok telinga dan otak pelaku dengan berdongeng tentang kekejaman. Akan tetapi, Kucil keluar dari The Celurits. Ia pergi ke tempat yang diceritakan Bangsa. Di sana, Kucil bertemu dengan Harap. Lagi. Bertemu kembali.
Pertemuan pertama Kucil dan Harap adalah di pantai. Kucil dan teman-teman masa kecilnya yang bukan dari The Celurits tenggelam di laut saat hendak memancing ikan. Harap ada di pantai bersama ibunya, ia sedang menemani ibunya melukis. Lukisan ibunya adalah pemandangan orang tenggelam. Harap heran dengan lukisan ibunya yang selama ini tidak pernah mendeskripsikan sebuah kesuraman. Ternyata memang ada yang tenggelam di sana, ombak yang cukup besar membawa mereka ke tepi pantai. Kucil remaja dan Harap remaja bertemu.
Kucil membuka pintu rumah, kemudian menemukan Harap dan Bangsa tertawa geli. Ia heran dengan keadaan yang mengejutkan. Baru kali ini mereka tertawa bersama, karena setelah pertemuan pertama Harap dengan Bangsa, Harap bercerita tentang ia yang kikuk saat berbincang bersama Bangsa.
“Kalian ngapain, sih?” Kucil menempeleng pelan kepala Bangsa dengan tas ransel kecilnya.
Kucil memegang kepala Harap, “Gila, ya? He, kau gila, ya?”
Harap dan Bangsa tetap tertawa. Sampai sore menjelang.
Akhirnya mereka berhenti tertawa yang masih menyisakan pegal-pegal di rahang dan keram di perut. Kemudian Harap dan Bangsa pergi ke lantai dua untuk pamit pulang pada Kucil. Karena jengkel dengan tingkah mereka, Kucil menggunakan waktunya untuk tidur siang. Pukul 17.19 Kucil masih tidur lelap dengan keringat yang melekat di kaos singletnya.
Kamar Kucil berantakan. Kalau ditanya mengapa kamar Kucil selalu berantakan, maka ia akan menjawab dengan santai: Memang itu konsepnya.
Harap menggoyang-goyang pundak Kucil yang masih tidak menyadari keberadaan mereka di kamarnya, “Cil.. Bangsa mau pulang..”
Akhirnya Kucil bangun. Ia memang mudah dibangunkan untuk ukuran seorang pria kerbau.
“Sudah puas tertawanya?” tanya Kucil bete sambil menyadarkan diri mencoba bangun menyender ke tembok.
Bangsa tertawa kecil dengan manis, “Maaf, maaf.. aku juga tidak mengerti kenapa bisa sebegitu lucunya..”
Harap tertawa seperti mengetahui jawabannya, “Kau sekarang akan mengerti, Bangsa. Ini namanya senjata makan tuan.”
Bangsa kebingungan. Kucil membulatkan matanya. Harap tertawa.
“Harap!” Kucil menganga, “Jangan bilang kau benar-benar memasukkan obat ketawa di minuman Bangsa!”
Harap pecah. Ia tertawa pecah sambil kesakitan memegangi perut.
Bangsa makin kebingungan sambil berulang-ulang melihat Harap dan Kucil secara bergantian, “Apa sih, Tsel?!” Bangsa memang senang memanggil Kucil dengan nama lahirnya, yaitu Kutsel. Agar ia selalu ingat akan kelahirannya yang didambakan oleh ayah dan ibunya.
Kucil pun ikut tertawa, tidak bisa menjawab. Ia memeluk bantal dan guling dengan erat. Wajahnya merah padam. Di sela-sela tawanya ia berkata, “Makanya jadi orang jangan terlalu kaku! Hahahahahaha!!”
***