Oke, karena hari ini tanggal lahir Bangsa di tahun yang berbeda, aku Harap, dan Kucil mengundangnya ke rumah kami. Kalau sesuai tradisinya, mungkin seharusnya kami yang datang ke sana. Tapi karena di rumah Bangsa terlalu banyak saudaranya, maka lebih baik ia saja yang kemari agar lebih akurat dalam merayakan ulang tahunnya.
Sebenarnya kami tidak punya kue ulang tahun atau semacamnya, kami hanya punya doa, sedangkan Bangsa punya rasa syukur. Jadi, mungkin ini bukan sebuah perayaan untuk berkurangnya umur. Namun, sekedar perayaan syukur bersama kerabat yang telah menemani sampai di umur sekarang.
Saat ini pukul sembilan kurang delapan menit. Sebelum kedatangan Bangsa di pukul sepuluh, Kucil masih sibuk mencari hadiah yang pas untuk Bangsa. Kesepakatan kami adalah memberikan benda yang paling disukai. Benda-benda yang kemungkinan besar tidak akan kami berikan di hari biasa. Maka, aku memberikan
sepatu kesayanganku yang telah dirusak oleh Kucil. Sepatu itu sudah tidak kupakai lagi, karena bentuknya yang sudah babak belur di tumpukan tong sampah karena ulah Kucil. Ketika tahu bahwa aku memberikan sepatu yang tidak layak pakai itu, Kucil protes. Ia bilang bahwa aku tidak akan sangat rugi kalau memberikan sepatu itu pada Bangsa. Lalu aku bantah saja kalau sepatu itu sangat kusayangi sebelum ia merusaknya! Kemudian Kucil pura-pura tidak mendengar.
Sudah hampir pukul sepuluh, Kucil turun dari tangga sambil berseri-seri. Ketika aku tanya tentang ia sudah menemukan hadiahnya atau belum, Kucil hanya cengengesan sambil mengacungkan ibu jarinya. Entahlah, orang itu, penuh rahasia.
Tak lama pintu diketuk dari luar. Itu Bangsa!
“Harusnya kalian yang pergi ke rumahku. Kalau seperti ini, namanya tidak—”
“Tidak apa?” potong Kucil seperti sudah tahu kelanjutan kalimatnya. Hahaha.. dan aku mengetahui kelanjutan kalimat itu, “Tidak sopan?”
Kucil dan aku terbahak-bahak melihat wajah Bangsa datar sedatar-datarnya. Kemudian Bangsa duduk di tempat kami duduk, di sofa kesayangan di depan TV. Bangsa duduk di tengah sambil merangkul leher kami, “Lalu apa yang harus aku lakukan di sini, hah?”
Aku melepaskan rangkulan lengan kirinya, lalu berdiri menghadap mereka berdua, “Baiklah, Kucil akan menjelaskan.”
Spontan Bangsa menundukkan kepala dengan cepat melihatku kembali sambil menahan tawanya, “Kukira kau yang punya idenya.”
“Ya, sebenarnya Harap yang punya idenya, tapi karena aku sahabatmu, jadi biarkanlah aku yang menjelaskannya,” Kucil akhirnya membuka suara dan berdiri di sebelahku.
“Kami punya berlembar-lembar kertas polos untuk kautuliskan doamu sebanyak umurmu sekarang, beserta alasannya.”
“Yuk, kita mulai saja sekarang!” ucapku tak sabar. Aku bergegas pergi naik ke atas loteng.
“Apakah harus di atas?”
Aku menoleh cepat ke bawah, “Oh, ya, Bangsa kan belum pernah ke atas. Biasanya di sana akan lebih banyak terpikirkan sesuatu dibandingkan di dalam sini,” jelasku.
Dan kami sudah di atas loteng ini, anginnya semilir. Kucil menaruh peralatan yang sudah disiapkan, kemudian menahannya dengan pemberat agar tidak terbang.
“Harus pakai alasan?” tanya Bangsa yang sedang menatapi kertas kosong ukuran folio tersebut.
Kucil memberikan pulpen water proof kepada Bangsa, “Ya, agar orang-orang tahu mengapa mereka harus melakukan itu untukmu.”
“Mereka?” Bangsa semakin kebingungan. “Memangnya akan diapakan kertas-kertas ini nantinya?”
“Sudahlah, jangan cerewet!” Kucil gemas. Bangsa apalagi tidak kalah gemas bingungnya. Aku tertawa.
Bangsa mencibir, “Baiklah. Ini pertanyaan terakhirku, kalian akan melihat aku menulis?”
Kucil mengangguk mantap, “Ya! Kami akan menemanimu berdoa.”
“Menemani kan tidak harus melihat?”
Aku menjadi sangat tidak sabar, “Kau kan sudah bilang tentang pertanyaan terakhir.”
Kucil tertawa.
“Baiklah,” akhirnya Bangsa menunduk lemah. “Sebanyak umurku sekarang kan?”
Aku dan Kucil mengacungkan jempol mantap.
Bangsa menuliskan angka satu di kertas pertamanya, kemudian isinya dengan lancar ia tuliskan: Aku ingin panjang umur.
“Kau harus menuliskan namamu,” aku baru ingat tentang ini.
“Ya, kau harus menuliskan namamu,” Kucil mengulang kalimatku. “Nama lengkapmu.”
Bangsa menoleh pada Kucil, “Namaku hanya Bangsa, Kutsel. Itu saja.”
“Dan namaku Kucil. Bukan Kutsel, Bangsa.”
“Kalau Kutsel menjadi Kucil, lalu Bangsa menjadi apa?” tanya Bangsa menggoda Kucil dengan wajahnya.
“Menjadi Bobrok!” jawab Kucil asal dengan wajahnya yang mulai sedikit kesal.
“Oh, namamu hanya sepenggal. Tapi luas sekali ya, Bangsa..” komentarku mencoba menghentikan adu mulut mereka.
Bangsa hanya diam sambil menuliskan namanya di kertas barusan. Bangseka?
“Bangseka?”
Bangsa tersenyum kecil, “Ya, nama lahirku Bangseka. Gabungan dari Bangsa dan Eka. Sangat indah, bukan?”
Aku tersenyum setuju.
“Dulu sangat indah, kokoh, dan penuh semangat. Tapi sekarang aku tak menemukan itu. Entah mengapa anak-anak jaman sekarang sangat enteng sekali memplesetkan nama seseorang. Mereka sangat kreatif. Namaku diplesetkan menjadi Bangsa Brengsek. Bukan Bangsa dan Eka lagi.
Walaupun maksud mereka hanya bercanda, tapi apakah kau merasakan sekarang bercanda merupakan keseriusan yang dibalut oleh tema santai?” Bangsa tertawa kecut, “Itu membuatku sedih.. Makanya aku hanya bilang bahwa nama lengkapku cukup Bangsa saja.”
Aku ingin menepuk pundaknya, tapi tidak bisa. Aku tidak terlalu dekat dengannya. Harusnya Kucil yang menepuk pundaknya, tapi ia terus membuang muka. Entah menerawang apa aku tidak bisa lihat.
“Kalau begitu.. cukup tuliskan nama yang kausukai saja..” ujarku agak terbata-bata.
“Kau, Harap.”
Aku menoleh ke arah suara.
“Kau terlalu hati-hati bicara dengannya. Apakah kau pernah berhati-hati ketika bicara denganku?”
Aku tidak mengerti maksud Kucil.
Kucil bangun. Pergi meninggalkan kami.
***