Hai, aku Kucil. Aku takkan bercerita, aku hanya ingin mencurahkan segala gelap dan terang yang sedang ada di otakku beberapa hari ini. Aku rindu teman-temanku, karena aku tak hanya merindukan seorang Harap. Ia saat ini sedang berjalan-jalan sendiri, saat aku bertanya tentang penawaranku untuk menemaninya, ia menjawab tak perlu karena kau tahu sendiri bahwa wanita kadangkala butuh waktu sendiri. Ya, aku mengangguk dan membeli soda di warung sambil melihatnya yang semakin lama semakin kecil karena sudah menjauh dari pandanganku.
Jadi, aku rindu teman-temanku, bukan karena saat ini aku sedang ditinggal pergi sebentar oleh Harap. Namun karena Harap yang sedang rindu teman-temannya yang menghilang, padahal sebenarnya ia tahu mereka ada dimana. Akan tetapi ia takkan menemuinya, ia sudah lelah untuk menjadi sebuah tali yang harus mengikat, karena mungkin Harap berpikir bahwa teman-temannya sudah tak lagi membutuhkannya. Harap pernah berteriak di saat aku ingin membantunya yang berkali-kali gagal membuat garis lurus di tembok: Aku bisa melakukannya sendiri! Kau lihat sendiri kan sampai sekarang tak ada satupun teman yang membantuku!
Karena mereka sok tahu! Mereka sok tahu bahwa aku bisa melakukannya sendiri!
Aku sedih bila Harap sedang marah, karena aku tahu, ia sebenarnya tak marah. Ia sedih, si pemberi harap sedang sedih.
Sama seperti sedihnya aku yang sedang merindukan teman-temanku. Kami dulu sering bertengkar, namun pada akhirnya kami bertengkar dengan diri sendiri. Karena tak seharusnya kami bermain memar hingga darah hanya untuk menentukan siapa yang benar. Padahal di antara kami tak ada satupun yang benar, dan akhirnya kami hanya tertawa kesakitan karena luka di sekitar bibir. Lucu sekali.
Ketika aku tertawa mengingat dan menceritakannya pada Harap, ia hanya menyunggingkan senyumnya kira-kira setengah centimeter, lalu berkata bahwa lebih baik begitu, kalian bertengkar akan perbedaan dan selesai di waktu yang sama. Daripada selalu seiya sekata, sangat harmonis, merencanakan segala kebahagiaan, hingga pada akhirnya kenyataan yang sebenarnya itu muncul di waktu yang berbeda. Kami seperti dibawa ke dimensi masing-masing secara tiba-tiba, hingga pada akhirnya kami tak pernah bertemu lagi. Mungkin tak akan. Itu lebih lucu. Sangat lucu.
Harap bilang itu lucu, tapi ia tak tertawa sama sekali. Yang kulihat ia hanya ketakutan. Harap takut jika air matanya tumpah ketika tulang pipi menyenggol matanya yang sudah berbayang. Ia takut wajahnya basah, padahal tak ada luka di wajahnya. Saat itu aku menunduk, tak kuat melihat Harap yang sedang menutupi kelemahannya, dan berkata padanya bahwa kau tak perlu takut menangis, di wajahmu tak ada luka. Aku tahu, hatimu lah yang terluka. Jadi bila kau menangis, itu takkan perih. Kasihan matamu, Harap, terlalu berat ia menahan air.
Aku mengangkat wajahku dan wajahnya sudah tak lagi terlihat di samping, karena pundak kananku sudah dialiri air matanya yang terluka perih.
Ya, akhirnya aku bercerita juga. Namun itulah gelap dan terangnya hidup. Harap tak selalu terang, dan aku tak selamanya gelap. Ah, sodaku habis, semoga saja Harap pulang membawa soda, kalau bisa sih soda gembira.
Namun.. aku lebih berharap.. bahwa Harap pulang membawa kegembiraannya.
***