“Har, pesan apa?” Kucil menghampiri Harap di meja makan. Tempat makanan cepat saji.
Harap menggeleng sambil agak menurunkan badan di kursinya, “Aku di sini hanya numpang ngadem.”
“Itu saja?”
“Sambil menemani kau makan.”
Kucil sumringah. Apalagi yang membuatnya sumringah selain kepedulian Harap. Mungkin narkoba. Dulu, sebelum Kucil menemukan narkoba yang paling membuatnya melayang. Ya, wanita kerbau yang sedang duduk santai di depan tengah membuka jaketnya.
Tidak lama Kucil membawa nampan berisi ayam tepung bagian dada dan setangkup nasi. Tidak lupa: soda ukuran besar.
“Makan, Har,” Kucil membuka nasi yang terbungkus rapi. “Maafkan aku, nasi, yang telah membuka bajumu.”
Harap tertawa kecil.
“Sudah lama rasanya tidak melihatmu tertawa,” Kucil menatap Harap dengan seksama.
Harap tertawa lagi yang lebih dari kecil, “Oh, ya? Seberapa lama?”
“Mmm.. 5 menit yang lalu,” Kucil memasang wajah berpikir kemudian dengan cepat tertawa kecil, “Entahlah. Terlalu menyakitkan bila mengingat-ingat kapan kali terakhir kau tertawa.”
Kucil menggigit ayamnya dengan rapi. “Makan, Har.”
“Berdoa dulu,” Harap mengembangkan senyum kecilnya yang rapi sambil menatap Kucil.
“Senyummu tadi, Har!” Kucil berbinar. Benar-benar berbinar. Entah bagaimana caranya ia bisa berbinar sebegitu cepatnya.
Harap membenarkan duduknya kemudian melipat tangannya di meja. Mencondongkan badannya ke depan, ke arah Kucil.
“Kok aku grogi ya, Har?” Kucil tertawa dengan penuh nasi dan ayam yang terlihat rapi di dalam mulutnya.
Harap diam saja.
“Tersedak. Sebentar lagi kau akan tersedak, jika tidak menghentikannya dengan minumanmu,” Harap mengambil minuman Kucil dengan cepat kemudian berdiri, memutari Kucil dan diakhiri duduk di kursi kosong sebelah Kucil. “Nih, cepat minum!”
Kucil meminum dengan rapi.
Kucil menengok ke sebelah kiri, ke arah Harap, “Kau membuatku tidak tersedak, Har.”
“Makan lah lagi, dengan rapi.”
Kucil mengangguk, “Siap laksanakan!”
“Cil..”
“Ya?” jawab Kucil sambil terus melanjutkan makannya. Tentu saja dengan rapi.
“Mungkin aku akan pergi.”
Kucil tersedak. Tanpa disuruh pun ia langsung menenggak sodanya, lalu menyeka bibirnya dengan punggung tangan.
Kucil menoleh pada Harap. Harap hanya menunduk dengan punggung menyender kursi yang mengangkat sebelah pundaknya lebih tinggi. Tampak santai namun kaku. “Duduklah di depanku. Kembali lagi seperti semula.”
Harap diam.
“Tadi kau membuatku tidak tersedak, tidak lama kemudian kau membuatku tersedak. Lalu nanti apalagi? Membuatku marah?” Kucil menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi yang keras.
“Hanya sebentar,” Harap memulai pembicaraan. “Kemungkinan hanya sebentar.”
“Ke mana?”
“Bersama teman-teman. Mereka mau merayakan kelulusan.”
“Berapa lama?”
“Hanya satu hari. Tapi mungkin aku tinggal di kotaku selama sebul—”
“Yang kutanya, adalah berapa lama mereka menganggapmu tidak ada?” suara Kucil agak mengeras. “Hah?!”
Kucil berdiri kemudian memutari Harap, duduk di seberang Harap yang lesu.
“Kau tak perlu marah. Aku sudah biasa saja terhadap mereka. Aku sangat senang mereka mengundangku.”
“Lalu kapan mereka datang ketika kau undang mereka dengan hilangnya dirimu?” Kucil menatap Harap dengan sangat lurus. Agak berantakan. Tidak lagi rapi.
“Kurasa ini kali pertamanya aku makan siang dengan sangat berantakan,” Kucil pergi. Menyisakan makanannya yang tertata rapi.
***