Harap sedang membaca koran, rubrik seni yang kadang-kadang ia buka. Koran di hari Minggu. Ya, sekarang hari Minggu. Ia duduk dengan menyilangkan kakinya di atas kursi empuk, di balkon yang penuh dengan tanaman merambat. Sinar-sinar yang datang dari matahari sedikit menitikkan di permukaan wajah Harap. Tak lama sinarnya tertutup, bukan oleh awan, melainkan tubuh Kucil yang datang di hadapan Harap.
Harap mendongakkan kepalanya sesaat kemudian kembali lagi pada koran di lembar berikutnya, “Ada apa? Kau sudah sarapan?”
Minggu pagi, masih pagi walaupun sudah menjelang pukul dua belas.
Kucil menggaruk kepalanya bingung, “Tadi aku bermimpi.”
“Ya, kau kan baru bangun tidur. Wajar kalau kau tadi bermimpi,” Harap menutup dan melipat koran lalu memangkunya. “Mimpi apa, sih?”
Kucil duduk di lantai, memeluk dengkulnya di hadapan Harap. Ia menarik nafas dalam-dalam, “Aku bermimpi.. aku bisa terbang!”
Wajah datar Harap muncul semuncul-munculnya. “Terus?”
“Mimpiku tidak seru, ya?” tanya Kucil polos.
“Kau bermimpi, Kucil. Mimpinya adalah kau bisa terbang. Oh, Tuhan. Itu kan mimpi biasa? Kalau kau terbang namun itu bukan mimpi, itu baru luar biasa, kan?” jelas Harap panjang lebar. “Tapi tidak mungkin juga kau terbang.”
“Tapi aku belum pernah bermimpi bisa terbang, Harap! Itu ajaib!” Kucil berbinar. Benar-benar berbinar.
“Kalau begitu, itu kemajuan,” jawab Harap pendek lalu membuka lagi korannya.
“Keajaiban memang benar-benar nyata..” gumam Kucil.
“Kalau kau kerja, itu benar-benar keajaiban yang nyata.”
***