Harap ternyata tidak di rumah.
Kucil dengan gontai kembali lagi keluar rumah.
Harap sudah ada di rumah.
Kucil kembali lagi pulang ke rumah dengan kesal sambil membanting pintu.
Harap terkejut, “Lho? Tadi kayaknya aku dengar suara yang sama deh, Cil? Kau bukan yang banting pintu?”
Kucil heran, “Lha? Kau tadi di rumah?”
“Aku tadi lagi buang air besar di WC.”
Kucil diam dengan wajah datar, kemudian duduk di kursi kayu sebelah Harap.
“Kau kenapa? Kesal kok wajahnya datar? Lapar ya? Jadi tidak bisa meluapkan kekesalan, gitu?” tanya Harap bertubi-tubi di depan wajahnya Kucil, ya tidak terlalu depan sekali.
“Ya. Aku kesal, tapi tadi sudah makan di Restoran Padang.”
“Jadi, kenapa wajahmu datar?”
Kucil menunduk lalu mengangkat wajahnya lagi, “Aku nggak bisa bayar. Aku lupa kalau aku belum kerja.”
“Lalu bagaimana kau membayarnya? Kok bisa pulang dengan anggota tubuh yang utuh?”
“Aku disana bilang bahwa Malin Kundang yang membawa dompetku! Hanya saja ia sudah menjadi batu sebelum aku menagih dompetku yang dipegangnya,” Kucil mendengus kesal, “Ya bagaimana, dompetku dan seisinya pun sudah jadi batu.”
“Lalu mereka percaya?”
“Mengapa harus tidak percaya, Har?” bentak Kucil sewot, “Itu cerita sungguhan!”
“Oh ya, baiklah,” Harap mengerutkan dahi sampai seratus lipatan, eh tidak jadi, dahinya Harap tak bisa melipat sampai seratus. “Eh, katanya kau akan melamar kerja di The Celurits?”
“Nah itu dia. Aku tidak jadi melamar kesana, karena kami tidak seprinsip. Kukira mereka membuka jasa garuk punggung. Tak tahunya bacok punggung.”
“Memangnya dulu untuk menggaruk punggung?”
“Dulu kulihat petani dan tukang kebun suka menggaruk punggungnya dengan celurit,” wajah Kucil sedih. “Ternyata sekarang sudah pindah haluan. Aku tak kuat melakukannya. Karena membacok punggung kurasa lebih menggelikan daripada hanya menggaruk.”
***