“Kau nggak buat remote-nya sekalian?” tanya Harap saat melihat Kucil tertawa girang setelah menancap ranting barusan.
“Besok aku mau melamar kerja. Kalau diterima, nanti aku minta digaji remote saja.”
Harap memejamkan matanya. Kucil melihat Harap memejamkan matanya. Mereka merasa diamati.
“Kaget!” Kucil dan Harap loncat dari kolam pasir tanpa kegirangan.
Anak laki-laki kecil tiba-tiba muncul dibalik televisi yang dibuat oleh Kucil.
“Kalian,” ujar Anak Kecil Itu (AKI), “ini padang pasir, dimana saya akan melewatinya. Dan mengapa ada televisi disini? Jika kerjaan kalian hanya menonton televisi sambil tiduran, kapan kalian ibadahnya?” ceramah si AKI.
Kucil nyengir kuda, walaupun ia tahu tentang dirinya yang seorang kerbau. “Oh, oke, KI. Tadi juga saya udah rencana mau bikin sajadah dari pasir.”
Harap mengangguk setuju.
“Bercanda kau, Saudara. Bagaimana bisa?” AKI mengerutkan dahinya, “Seharusnya kau buat sumurnya dulu. Gali pasir ini dalam-dalam hingga airnya meruak keluar. Kemudian buat pondasi lingkarannya, dan seterusnya.”
“Oh, kirain tadi mau tayamum aja gitu, KI,” jawab Harap sambil cengar-cengir kecil.
Kucil mengangguk setuju.
“Ah, kalian sudah besar. Harus berpikir juga untuk ke depannya. Air sumur ini selain digali untuk wudhu, juga untuk kalian minum, mandi, dan lain-lain.”
Harap dan Kucil mengangguk-angguk setuju tanpa beban. Saking tanpa bebannya, mereka terus mengangguk tanpa henti melihat AKI yang menggali pasir dengan senangnya.
Kemudian anggukan Harap dan Kucil berhenti ketika ada suara yang memanggil nama asli si AKI. Entah juga mengapa tiba-tiba mereka tahu itu nama asli si AKI.
Kucil menoel bahu si AKI, “Tuh dipanggil, KI, disuruh mandi dulu.”
“Sebentar lagi lah, saya lagi asyik main pasir nih,” jawab AKI tanpa menoleh sedikit pun, setipis bulu hidung pun tidak. Namun dengan cepat ia mengangkat wajahnya dari penggorengan, ya bukan lah, “Oh ya, kalian mau minum apa? Tapi agak lama ya, soalnya saya juga belum buat gelasnya.”
***