“Kubilang juga apa, ia telah mati, Har,” ujar Kucil menyerah saat itu.
“Kau yang membunuhnya.” Mendengar jawaban Harap, seorang Kucil mana yang tak langsung ciut dibuatnya.
Merasa harus dipenjara di dalam rumah, tak pernah terbayangkan bagi Kucil.
Saat itu, Harap mulai melunak ketika Kucil rajin merapikan ruang televisi yang tak pernah dirapikannya. Membuang sampah yang tak pernah dibuangnya. Hingga menguras bak mandi yang tak pernah dikurasnya setelah berendam di dalamnya. Sehingga membuat Kucil memberanikan diri untuk memulai obrolan.
“Har, besok pagi kau mau ke mana?” tanya Kucil di malam hari sebelum Harap pergi tidur.
“Apakah harus kujawab?” Harap masuk ke kamarnya.
Ya, Harap tak perlu menjawab rutinitas pagi yang selalu ia lakukan. Kucil mengetahuinya, namun ia kira dengan bertanya itu maka Harap akan mengajaknya untuk lari pagi bersama.
Paginya, Harap pun siap-siap untuk lari pagi. Dengan setelannya yang sangat bersemangat, Harap tampak lesu di dalamnya. Padahal ini adalah rutinitas pagi yang tak pernah membuatnya lesu.
Kucil. Kucil telat bangun pagi, menghancurkan rencananya untuk bangun bersama matahari. Ia baru bangun menuju pukul lima belas sore.
Tak lama Harap mengetuk kamarnya, “Kucil, kau belum makan. Turunlah.”
Kucil masih tetap merasa kikuk dengan kebaikan Harap sejak kejadian sepatu itu. Kucil berkeringat karena siang yang menjelang sore sedang sangat panas, jendela kamar masih tertutup, dan pintu sudah tidak diketuk lagi.
Akhirnya ia turun dengan kaos tipis yang masih lengket di badannya, penampilannya sangat berantakan untuk berhadapan dengan Harap yang tertawa di sofa bambu sambil makan potongan buah mangga di mangkuknya. Televisi menemani Harap tertawa. Kucil tak tertawa.
Anak tangga terakhir telah berhasil ia lewati, Kucil garuk-garuk kepala tanpa berusaha merapikan rambutnya. Duduk di tangga, melihat Harap tertawa yang kemudian menoleh ke arah Kucil, “Makanlah, tadi pagi aku beli martabak pisang keju kesukaanmu. Kukira kau akan bangun pagi. Tadi sudah kupanaskan, sekarang ada di lemari makan,” jelas Harap sambil masih menyisakan raut tawa di wajahnya.
“Ya. Terima kasih,” Kucil tertunduk.
“Ayolah, jangan buat aku marah. Itu menyiksaku,” ujar Harap lembut. Ditaruhnya mangkuk berisi potongan mangga di atas meja. Kemudian menghampiri Kucil, “Apa perlu aku gendong?”
Kucil tertawa kecil. Harap tertawa senang.
“Sebelumnya aku minta maaf, Har. Telah mengacaukan perkiraanmu. Aku pun ingin begitu; ingin bangun pagi, ikut kau lari pagi, sarapan bersama, tapi..” Kucil meringis, “semalaman aku tak bisa tidur.”
Harap tersenyum. Manis.
“Semalaman aku browsing tentang model sepatumu, tapi tak kutemukan. Aku baru tahu sepatu itu langka, mungkin itu karenanya kau begitu kesal padaku. Kalau kau mau tahu, sepatumu masih kusimpan di bawah kasurku, walau harus kusemprot pengharum ruangan setiap semerbaknya menusuk hidungku,” Kucil tertawa konyol.
“Sudah berapa banyak bungkus persediaan bubuk kopi favoritku yang kutenggelamkan di dalam sepatumu agar terus wangi. Hahaha, aku tak minum kopi beberapa hari ini tapi aku selalu sulit tidur malam.”
Harap tersenyum lagi. Lebih manis. Sangat menenangkan, lebih dari kau minum cokelat hangat.
Kucil mendengus kesal tapi tersenyum dan memerah di permukaan wajahnya, “Kurasa aku takkan pernah bisa tidur dalam jangka waktu yang lama, Har, senyummu itu! Dua kali! Demi Tuhan..”
Harap tertawa bahagia dengan aroma mangga segar, memeluk tubuh Kucil yang penuh keringat malam.
Mulai hari ini, sore pun menjadi suasana yang tepat untuk merapikan, jika pagi dan malam mereka tidak terlalu bagus.
***