Oke, namanya Manggani, ia lebih senang dipanggil Mangga, walaupun dress yang dikenakannya sekarang bermotif pisang. Warnanya kuning gading dengan polkadot putih.
Namun, karena Kucil menceritakan bahwa Harap senang makan mangga, dan kemungkinan besar akan menelan habis Si Manggani itu, maka voila! Namanya sekarang bukan lagi Manggani ataupun voila, akan tetapi: Ani. Ya, ingat masa kecil mendengar nama itu?
“Aaah! Aku jadi rindu belajar Bahasa Indonesia di sekolah dulu!” ujar Harap antusias ketika Ani memperkenalkan namanya.
“Ya, aku pun merasa berdosa harus berganti nam—”
oke, tiba-tiba Kucil menggendong Mangga tinggi-tinggi agar ia tak bilang nama sebenarnya.
Harap tertawa. Mangga pun tertawa.
Ya, bagaimana tidak Mangga tertawa melihat wajah Kucil yang dibuat jelek seperti mangga busuk terlindas truk.
Mereka berdua sibuk. Harap pamit pergi membeli buah.
“Kau ingin buah apa, Mangga?” tanya Harap yang tiba-tiba tahu nama panggilan Ani yang sebenarnya.
Kucil tetap asyik bermain domino tanpa menunggu giliran Mangga.
“Kak Kucil akhirnya sudah memberi tahu, ya?” Mangga keheranan.
Harap tak kalah heran, “Memberi tahu apa?”
Kucil akhirnya kaget.
“Ah! Apa kau akan memakanku?!” Ani tak kalah kaget hingga menjauh dari Harap dengan wajah ketakutan.
“Aku tak memberi tahunya! Demi Tuhan!” Kucil mengacungkan dua jari yang masih menjepit kartu dominonya.
“Tapi Kak Harap memanggilku Mangga! Bukan Ani!” Mangga semakin ketakutan sambil sesekali masih melihat kartu domino yang dipegangnya kemudian ke arah deretan kartu domino di atas lantai. Lalu melemparnya dengan kartu yang cocok, “Sekarang giliran Kak Kucil!”
“Ya, kan? Ya, kan? Tadi kau memanggilku Mangga, kan? Lalu sekarang kau akan memakanku? Oh, Tuhan..” Ani merengek.
“Oh, Tuhan!” Harap menepok jidatnya, tertangkap satu nyamuk secara kebetulan. “Tadi itu aku bertanya: Kau ingin buah apa? Mangga? Begitu, Ani..” jelas Harap.
“Eh? Tapi kenapa tadi kau bilang: Kau ingin buah apa, Mangga? Begitu..” jelas Ani ngeri.
Kucil tak menghiraukan kebingungan mereka.
“Ah!” Harap menemukan titik permasalahannya, “Ketikanmu salah, hei, penulis!” ujar Harap sewot padaku.
Eh, padaku?
“Aku?” tanyaku.
“Iya! Seharusnya bukan tanda koma setelah kalimat ‘kau ingin buah apa’ tapi tanda tanya!” koreksi Harap.
“Ah, maaf..”
“Ayo, ulangi! Bikin repot saja.”
“Kau ingin buah apa? Mangga?” tanya Harap.
“Begitu?” tanyaku lagi.
“Ya! Ayo pikirkan lagi jawaban baru untuk Ani!” perintah Harap.
“Iya, Nyonya..”
“Eh, tunggu sebentar, Ani,” Harap mengingat-ingat sebelum Ani menjawab pertanyaannya. “Tadi kau bilang bahwa Kucil akhirnya sudah memberi tahu? Apa rahasia yang kalian sembunyikan dariku, hah?” tanya Harap penuh selidik.
Ani melirik pada Kucil.
Kucil melirik padaku.
Eh, padaku?
“Ya, padamu!” tunjuk Kucil padaku, “Mengapa kau buat cerita kalau Harap mengingatnyaaaaaaaaa!!”
Ya, maafkan aku Kucil. Karena pada akhirnya Harap mengetahui nama Ani adalah Manggani, dan senang dipanggil Mangga.
Pada akhirnya (lagi), Harap tak menerkam Mangga. Ya, kau pasti tahu jawabannya. Kucil lah yang diterkam habis oleh Harap.
***